Untuk hujan kusematkan
Selamat datang dan selamat jalan
Semoga jatuhmu jauh dari risau
Rinaimu tak bernada parau
-dipta
bukanlah seorang penuh luka yang tak selalu terluka. bukanlah amatir yang pandai menyerap tafsir yang tak pernah memaknai pelesir.
Rabu, 20 November 2013
Puisi Satu Bait
Kemarin adalah kata
saat hari aku tiada
mampu memberi makna
pada sunyimu yang bersua
-dipta
saat hari aku tiada
mampu memberi makna
pada sunyimu yang bersua
-dipta
Minggu, 17 November 2013
Dalam Kedewasaan
Tahukah kau saat hati ini terluka
Ia ingin memberontak dan menangis sepuasnya
Namun hati ini telah dewasa
Yang ia lakukan hanyalah menulis sebait puisi
Ia ingin memberontak dan menangis sepuasnya
Namun hati ini telah dewasa
Yang ia lakukan hanyalah menulis sebait puisi
Sabtu, 16 November 2013
yang Sepi Malam Ini
Yang bisa di tengok
dari gubuk kami
cuma dua jendela
yang menatap sedih
setapak di depan mata pintu
di mana langkah langkah
mencari jejak
di sekitar rumah dan beranda
lalu masuk menjelajah
seperti belantara
yang sudah ia kenal.
Ia mengaduk
gula dalam toples
mencari ingatan yang telah menyerbuk
oleh peraman waktu.
Ia melesak ke kamar tidur
di mana ranjang telah memeluk
kaki lapuk dan seprei.
Sementara ia lebih terkejut
rumah ini bisa rapih
biasanya cangkir kopi
dan kulit-kulit kacang
atau putung rokok dan majalah donal
mengobrak senyap mengabrik penat.
Namun cuma sebuah kursi dan segulung tikar
tempat malam menina bobokan salam
dan sepi-sepi tergulung rapih.
Memang kini,
rumah kami ramai penyendiri
akhirnya langkah-langkah itu
beranjak pergi. saat aku cinta-cintanya
meramaikan diri dengan jejak-jejak
agar siapapun kerasan di gubuk kami
dan menggelar kopi, kulit kacang, putung rokok
atau sesederhana tawa di seduh ingatan.
-dipta
dari gubuk kami
cuma dua jendela
yang menatap sedih
setapak di depan mata pintu
di mana langkah langkah
mencari jejak
di sekitar rumah dan beranda
lalu masuk menjelajah
seperti belantara
yang sudah ia kenal.
Ia mengaduk
gula dalam toples
mencari ingatan yang telah menyerbuk
oleh peraman waktu.
Ia melesak ke kamar tidur
di mana ranjang telah memeluk
kaki lapuk dan seprei.
Sementara ia lebih terkejut
rumah ini bisa rapih
biasanya cangkir kopi
dan kulit-kulit kacang
atau putung rokok dan majalah donal
mengobrak senyap mengabrik penat.
Namun cuma sebuah kursi dan segulung tikar
tempat malam menina bobokan salam
dan sepi-sepi tergulung rapih.
Memang kini,
rumah kami ramai penyendiri
akhirnya langkah-langkah itu
beranjak pergi. saat aku cinta-cintanya
meramaikan diri dengan jejak-jejak
agar siapapun kerasan di gubuk kami
dan menggelar kopi, kulit kacang, putung rokok
atau sesederhana tawa di seduh ingatan.
-dipta
Senin, 04 November 2013
Menyakiti Semudah Itu
Ku serahkan segala kerah
Seperti embun di kelopak layu
Pagi-pagi mata sudah sayu
Terlalu sering menghidupkan malam
Dengan terik bohlam.
Ku pintal segala pinta
Seperti sulur yang mencoba hidup
Di antara para pencakar langit
Dan pengoyak tanah berhumus.
Ku tantang segala tentang
Seperti mawar yang hendak di renggut
Dari tanah yang menghidupinya
Dari duri yang dicintainya
Hanya agar tangan pecinta nyaman
Tanpa mau pikirkan:
Barangkali kamu terluka.
-dipta
Seperti embun di kelopak layu
Pagi-pagi mata sudah sayu
Terlalu sering menghidupkan malam
Dengan terik bohlam.
Ku pintal segala pinta
Seperti sulur yang mencoba hidup
Di antara para pencakar langit
Dan pengoyak tanah berhumus.
Ku tantang segala tentang
Seperti mawar yang hendak di renggut
Dari tanah yang menghidupinya
Dari duri yang dicintainya
Hanya agar tangan pecinta nyaman
Tanpa mau pikirkan:
Barangkali kamu terluka.
-dipta
Sabtu, 02 November 2013
Hujan Membacamu
Hujan tahu kau masih peduli
suara serak di jemu jarak,
lilin kecil tiada berpuan
sepeninggal tuan ke pasar zaman
memilih waktu mana yang paling apik
dan belanja ingatan melankoli.
Hujan tahu kau masih peduli
derai di sebatang serai
yang kau memarkan untuk kesenangan
lidahmu haus perisa pangan.
Hujan tahu kamu masih peduli
jejak-jejak samar
di punggung jalan yang gatal
selepas hujan menghapus
langkah tak mau pergi
yang kini terus kau cari.
Ya, Hujan tahu
sesalmu kini.
-dipta
suara serak di jemu jarak,
lilin kecil tiada berpuan
sepeninggal tuan ke pasar zaman
memilih waktu mana yang paling apik
dan belanja ingatan melankoli.
Hujan tahu kau masih peduli
derai di sebatang serai
yang kau memarkan untuk kesenangan
lidahmu haus perisa pangan.
Hujan tahu kamu masih peduli
jejak-jejak samar
di punggung jalan yang gatal
selepas hujan menghapus
langkah tak mau pergi
yang kini terus kau cari.
Ya, Hujan tahu
sesalmu kini.
-dipta
Akumu di Sebujur Waktu
selama pagi tak jemu jadi penyapa bumi
selama kamu tak jenuh jadi penanda hari
selama aku tak penuh di cangkir kopimu
selama peluh tak jadi keluh
selama utuh buatmu butuh
selama kamu rajin bertamu
selama pintuku kau ketuk dengan pagarmu
maka di tungkumu
aku masih nyala waktu
-dipta
selama kamu tak jenuh jadi penanda hari
selama aku tak penuh di cangkir kopimu
selama peluh tak jadi keluh
selama utuh buatmu butuh
selama kamu rajin bertamu
selama pintuku kau ketuk dengan pagarmu
maka di tungkumu
aku masih nyala waktu
-dipta
Langganan:
Postingan (Atom)