Ia membawa sekuntum lili putih ditangannya, dipercantik dengan plastik bening dengan pita merah.
Ia nampak rapih dengan kemeja putih bergaris biru dan rambut ala anak muda.
Senyum mengembang dari wajahnya yang cerah, secerah warna bunga lili digenggamannya.
"Selamat ulang tahun ibu, kian hari kau kian cantik. mungkin wanita yang paling cantik"
Lelaki itu mencium kening ibunya yang berkerut.
Ibunya tersenyum di ranjang yang menjadi sahabatnya setiap waktu.
Ruangan itu gelap dengan lampu tidur bercahaya kuning di samping ranjangnya.
"Ibu ingat? dulu, saat aku masih sangat kecil. Aku tidur diranjang ini bersama ayah dan ibu."
"Aku di puk-puk oleh mu bu, hingga aku tertidur"
"Lalu saat aku lari ketakutan karena seekor anjing mengejarku"
Ia tertawa pelan serta mengusap lembut punggung tangan keriput milih ibunya.
"Kau mengabadikan wajahku saat belinang air mata dan kelelahan karna baru berlarian"
Bocah yang kini seorang lelaki tampan itu mengingat-ingat kenangan manis seolah ia kembali pada masa lalu.
Dimana saat ibunya menyuapinya dengan sabar, mangganti popoknya, dan menyusuinya.
Raut saat ibunya marah, kecewa, khawatir, tertawa, menjadi satu dalam rangkaian keluarga bersama ayah dan seorang abang.
Lalu ia teringat, saat ia menginjak remaja. Saat emosinya tak dapat dikendalikan atau tak mau mendengar.
Rasa dimana ia selalu benar.
Mengingat wajah ibunya yang kecewa namun tetap menasehatinya dengan belaian, senyuman, tangisan, wanita kuat itu sempat berkata "Ibu menyayangimu, karnanya saat kau berbuat salah ibu memarahimu"
Rautnya berubah sedih
"Ibu maafkan aku"
"Aku tidak dapat menjagamu dengan baik, bahkan saat kau diterkam oleh kesunyian"
"Aku tak dapat mengusir rasa sepi disekelilingmu bu, padahal sepi ini tercipta dariku"
"Bahkan setelah suaramu harus terpendam,
bahkan setelah kakimu harus lumpuh,
bahkan saat tungkai dan lenganmu terus mengecil karna ku"
Ia tersedu mencium punggung tangan ibunya terus menerus.
Wanita diranjang dengan lengan yang terus mengecil itu menatap kosong dalam kegelapan.
"Bila saja aku menurut pada tuturmu yang saat itu lembut"
"Untuk tidak berlari menjauh dari halaman rumah yang nyaman"
"Untuk tidak keluar dari pelukanmu"
"seharusnya aku mendengarkan tangis mu bu.."
Lelaki berbadan tegap itu semakin larut dalam tangisanya.
Lalu wanita yang dikasihinya mengambil papan alphabet dan menunjuk huruf perhuruf hingga menjadi sebuah kalimat. Raut wanita ikhlas diranjang tetap tetap datar walau aku tahu hatinya hancur.
Ia terlihat kuat dihadapan anak lelaki kesayangannya.
"Nak, tetaplah bernafas"
-dipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar