Aku terjaga dari suaramu
Ditengah keramaian
Di padat keheningan
Seperti tik-tik hujan
dan tik-tok jam.
Seperti gemuruh
Di pesisir nyiur
tepat tepi bibirmu.
Aku ingat suaramu,
Yang berpora dari tumpukan bangkai
para lelaki yang kau koyak dadanya.
Suaramu itu air yang pintar memainkan alur.
Suaramu itu
Meresap di lubang-lubang dada
Koyak makin meruyak
Lalu menjilat darah sepenuh kawah.
Kering.
Kau beri kering.
Setelah mengecup kening.
Kau tinggalkan kawah para lelaki
Biarkannya luput dari genangan.
Dan kini aku tidur didadamu
Ibarat tanah di bulan mei aku menyerap suaramu.
Seperti tik-tok jam
Kecuali kalau hilang baterai,
Aku juga bangkai.
-dipta
bukanlah seorang penuh luka yang tak selalu terluka. bukanlah amatir yang pandai menyerap tafsir yang tak pernah memaknai pelesir.
Senin, 30 Desember 2013
Jumat, 27 Desember 2013
Kanvas Penyair
Yang kujual dari layar terpa ini
Semua lukisan yang juga sudah kupoles
Kau bisa lihat
Bagaimana aku mulai merangkai
Garis-garis tempat kata-kata menetap.
Setiap waktu punya warna arsirnya sendiri
Dan cinta tak lagi kubuat mawar melati
Atau darah, atau duri.
Melainkan persawahan didepan dua gunung kembar.
seperti saat guru taman kanak-kanak menyuruh muridnya:
"Anak-anak, coba gambarkan pemandangan alam".
-dipta
Semua lukisan yang juga sudah kupoles
Kau bisa lihat
Bagaimana aku mulai merangkai
Garis-garis tempat kata-kata menetap.
Setiap waktu punya warna arsirnya sendiri
Dan cinta tak lagi kubuat mawar melati
Atau darah, atau duri.
Melainkan persawahan didepan dua gunung kembar.
seperti saat guru taman kanak-kanak menyuruh muridnya:
"Anak-anak, coba gambarkan pemandangan alam".
-dipta
Kamis, 26 Desember 2013
Garis di Telapak Tanganku
Aku melihatnya sebagai sebuah papan permainan. Saling melempar dadu, menunggu giliran, menjalankan bidakmu. Semua hanya sebatas papan di atas meja permainan. Mungkin kau bisa melangkahkan anak bidakmu kedepan, mungkin berhenti ditempat, bahkan memundurkan langkah anak bidakmu. Dadu yang kau lemparkan bagai sebuah joker. Jika beruntung, joker akan menaungi lemparanmu. Dan mempercepat langkahmu menuju akhir. Mirip seperti ular tangga kan? Mungkin beginilah cara takdir bekerja padaku.
Untuk segala yang menempaku, aku penasaran: Bagaimana hariku akan melompati angka-angka pada kalender. Hal apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku bertanya-tanya bagaimana hal ini akan berakhir. Sampai aku memijak garis akhir tepat dibawah kakiku. Dan kau bisa mengukur kemampuan petarung sepertiku. Apa ada air paling bening, yang membercak dipapan permainanmu?
-dipta
Untuk segala yang menempaku, aku penasaran: Bagaimana hariku akan melompati angka-angka pada kalender. Hal apa yang akan terjadi padaku nanti. Aku bertanya-tanya bagaimana hal ini akan berakhir. Sampai aku memijak garis akhir tepat dibawah kakiku. Dan kau bisa mengukur kemampuan petarung sepertiku. Apa ada air paling bening, yang membercak dipapan permainanmu?
-dipta
Selasa, 24 Desember 2013
Mémoire
Pukul 9 pagi saat aku telah selesai merimba di koran harian, selepas menyesap susu stroberi panas yang telah mendingin. Terdengar celetukan ringan yang cukup berat untuk ku resap artinya dari mulut adikku, "Bukannya hari ini dia ulang tahun?"
Ya, 6 kata barusan bagiku bermakna seribu. Aku tidak sengaja lupa, aktivitas baruku seolah menghapus semua data yang telah kusiapkan sejak lama. Segera kuambil ponsel yang kutinggalkan dikamar, lalu mencari namanya di kontak ponsel. Namun niat untuk mengirim pesan happy birthday kukaramkan. Bukan tanpa alasan, tentu saja aku tak melakukannya begitu saja. Hanya aku tidak ingin terlibat pembicaraan berdua dengannya, hanya berdua, bertiga dengan ponselku. Alih-alih mengirim pesan, aku mengetik user twitternya di penulisan status dan berkata "happy sweet seventeen for you, aku nggak ngirim selamat cuma-cuma ya, hehe". Send.
10.15, ketika aku tengah bergulat dengan sosial media yang lain untuk promo barang di toko onlineshopku. Nada dering nyaring terdengar dari ponsel yang kusendirikan di atas tumpukan kertas dan buku mata pelajaran, tanda adanya sms masuk. "Bisa kerumahku sekarang? Ibuku buat nasi kuning di hari ulang tahunku". Darahku berdesir luar biasa cepat, seperti naik wahana roler coaster, entah yang kamu rasakan takut atau senang. Tapi aku tak membalas pesannya, aku hanya menaruh ponsel itu kembali ketempat semula, atau bahkan lebih jauh. Aku tahu aku harusnya senang, tapi entahlah kenangan yang pernah kulalui dengannya membuatku terus menjaga jarak.
15 menit kedua setelah kuabaikan pesan itu, nada dering kembali terdengar panjang. telepon masuk, dari dia yang-tidak boleh-disebut-namanya. Keraguan kembali duduk di jemariku yang hendak menekan tombol jawab. Tidak, aku tidak menjawabnya.
Pukul 14.00, tepat saat aku telah selesai mengurus onlineshop dan novel yang sedang kukerjakan. ponsel kembali berdering, telfon masuk (lagi). Seolah aku tengah mengirim pesan langsung padanya, aku berkata dalam hati "Maaf, tapi tidakkah ini cukup? Bukannya aku tak mau bertemu, atau menghadiri ulangtahunmu. Hanya saja aku belum siap dan menyiapkan kata saat bertemu denganmu. Kita sudah usai, dan aku menyesalinya. Kita sudah saling melanjutkan hari dan aku menyesal masih merasa berat. Kau tahu aku selalu menunggumu, Tidakkah ini cukup?". Dan nada dering berakhir.
Aku tahu aku egois, tapi terus berpura-pura tersenyum di hadapannya? Tidak, aku tidak bisa lagi. Aku seperti bocah kan? Aku tahu, tapi hubungan ini rumit. Sebentar begini sebentar begitu, ini penyiksaan buatku. Terlebih teman-teman perempuannya yang membuatku salah tingkah. Seolah aku ini benda asing yang masuk kedunia privat mereka. Dan aku lebih tidak sanggup lagi jika berdiri didepan pacar barunya. Bersanding tepat disisi tubuhnya.
14.30, entah kabar menggembirakan atau kabar yang mengantarkanku pada penyesalan. "Dia sudah nggak ada dirumah. Baru pergi sama teman-temannya". Adikku berceletuk lagi. Yang dimaksud bukan informasi dia baru saja pergi. Tapi dirumahnya hingga setidaknya jam 2, disana tidak ada teman-teman atau pacarnya. Artinya, dia memberi privasi, dia menungguku.
Dia menungguku dan aku tidak datang. Tidak apa, sekenanya ia tahu rasanya menunggu. Dan harga yang kubayar saat ini, pukul 4 sore. Kepalaku tak bisa berhenti memikirkan kejutan manis apa yang diberikan pacar baru untuknya. Kukira hal ini akan berlangsung hingga larut, atau sampai aku mengisahkan cerita ini padamu.
ps: Kita bisa melupakan kenangan atau apa saja yang mereka lakukan sama kita. Tapi kamu nggak akan bisa lupa rasa sakitnya.
-dipta
Ya, 6 kata barusan bagiku bermakna seribu. Aku tidak sengaja lupa, aktivitas baruku seolah menghapus semua data yang telah kusiapkan sejak lama. Segera kuambil ponsel yang kutinggalkan dikamar, lalu mencari namanya di kontak ponsel. Namun niat untuk mengirim pesan happy birthday kukaramkan. Bukan tanpa alasan, tentu saja aku tak melakukannya begitu saja. Hanya aku tidak ingin terlibat pembicaraan berdua dengannya, hanya berdua, bertiga dengan ponselku. Alih-alih mengirim pesan, aku mengetik user twitternya di penulisan status dan berkata "happy sweet seventeen for you, aku nggak ngirim selamat cuma-cuma ya, hehe". Send.
10.15, ketika aku tengah bergulat dengan sosial media yang lain untuk promo barang di toko onlineshopku. Nada dering nyaring terdengar dari ponsel yang kusendirikan di atas tumpukan kertas dan buku mata pelajaran, tanda adanya sms masuk. "Bisa kerumahku sekarang? Ibuku buat nasi kuning di hari ulang tahunku". Darahku berdesir luar biasa cepat, seperti naik wahana roler coaster, entah yang kamu rasakan takut atau senang. Tapi aku tak membalas pesannya, aku hanya menaruh ponsel itu kembali ketempat semula, atau bahkan lebih jauh. Aku tahu aku harusnya senang, tapi entahlah kenangan yang pernah kulalui dengannya membuatku terus menjaga jarak.
15 menit kedua setelah kuabaikan pesan itu, nada dering kembali terdengar panjang. telepon masuk, dari dia yang-tidak boleh-disebut-namanya. Keraguan kembali duduk di jemariku yang hendak menekan tombol jawab. Tidak, aku tidak menjawabnya.
Pukul 14.00, tepat saat aku telah selesai mengurus onlineshop dan novel yang sedang kukerjakan. ponsel kembali berdering, telfon masuk (lagi). Seolah aku tengah mengirim pesan langsung padanya, aku berkata dalam hati "Maaf, tapi tidakkah ini cukup? Bukannya aku tak mau bertemu, atau menghadiri ulangtahunmu. Hanya saja aku belum siap dan menyiapkan kata saat bertemu denganmu. Kita sudah usai, dan aku menyesalinya. Kita sudah saling melanjutkan hari dan aku menyesal masih merasa berat. Kau tahu aku selalu menunggumu, Tidakkah ini cukup?". Dan nada dering berakhir.
Aku tahu aku egois, tapi terus berpura-pura tersenyum di hadapannya? Tidak, aku tidak bisa lagi. Aku seperti bocah kan? Aku tahu, tapi hubungan ini rumit. Sebentar begini sebentar begitu, ini penyiksaan buatku. Terlebih teman-teman perempuannya yang membuatku salah tingkah. Seolah aku ini benda asing yang masuk kedunia privat mereka. Dan aku lebih tidak sanggup lagi jika berdiri didepan pacar barunya. Bersanding tepat disisi tubuhnya.
14.30, entah kabar menggembirakan atau kabar yang mengantarkanku pada penyesalan. "Dia sudah nggak ada dirumah. Baru pergi sama teman-temannya". Adikku berceletuk lagi. Yang dimaksud bukan informasi dia baru saja pergi. Tapi dirumahnya hingga setidaknya jam 2, disana tidak ada teman-teman atau pacarnya. Artinya, dia memberi privasi, dia menungguku.
Dia menungguku dan aku tidak datang. Tidak apa, sekenanya ia tahu rasanya menunggu. Dan harga yang kubayar saat ini, pukul 4 sore. Kepalaku tak bisa berhenti memikirkan kejutan manis apa yang diberikan pacar baru untuknya. Kukira hal ini akan berlangsung hingga larut, atau sampai aku mengisahkan cerita ini padamu.
ps: Kita bisa melupakan kenangan atau apa saja yang mereka lakukan sama kita. Tapi kamu nggak akan bisa lupa rasa sakitnya.
-dipta
Langganan:
Postingan (Atom)